Pojok Berita – Pernyataan resmi Partai Ummat yang ingin mengusung politik identitas Islam dan menggunakan masjid sebagai tempat berpolitik mendapat teguran keras dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Hal itu disampaikan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja saat konferensi pers di kantornya usai acara Siaga Pengawasan 1 Tahun Menuju Pemilu 2024. Jakarta, Selasa (14/2) malam.
Bawaslu, menghimbau untuk semua partai politik agar tidak menggunakan tempat ibadah sebagai sarana untuk melakukan kampanye dan juga ajang untuk menyerang satu sama lain.
“Kami akan mengingatkan Partai Ummat untuk tidak melakukan hal demikian. Masjid adalah tempat bersama umat Islam, yang pilihan politik bukan hanya partai Ummat,” ujar Rahmat dikutip dari CNN Indonesia.
Oleh karena itu, Bagja mengingatkan Partai Ummat untuk mengurungkan niatnya yang hendak menggunakan masjid sebagai tempat berpolitik. Dia juga meminta Partai Ummat memberikan klarifikasi terkait rencana penggunaan masjid tersebut.
“Kami akan mengingatkan Partai Ummat untuk tidak melakukan hal demikian. Masjid adalah tempat bersama umat Islam, yang pilihan politiknya bukan hanya partai Ummat,” tambahnya.
Kabar politik identitas tersebut disampaikan oleh Ketum Partai Ummat Ridho Rahmadi Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pertama Partai Ummat di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Senin (13/2).
“Kami akan secara lantang mengatakan, ‘Ya, kami Partai Ummat, dan kami adalah politik identitas’,” Senin (13/2).
Menurutnya, tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah. Ia pun menuding pihak sekuler yang menghendaki dipisahkannya agama dari politik.
“Kita akan jelaskan tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam moralitas yang relatif dan etika yang situasional. Ini adalah proyek besar sekularisme, yang menghendaki agama dipisah dari semua sendi kehidupan, termasuk politik,” terang dia.
Selain itu, ia mengatakan Partai Ummat, bakal membangun perjuangannya dari masjid. Menurutnya, politik gagasan di dalam masjid tidaklah dilarang. Justru yang dilarang adalah politik provokasi.
“Yang seharusnya dilarang di masjid bukanlah politik gagasan tapi politik provokasi. Keduanya sangat berbeda,” ungkapnya. (Ali/*)