Pojok Berita – Setelah mengalami krisis pembelajaran yang berlarut-larut akibat pandemi, pemerintah berinisiatif untuk mengeluarkan kurikukum darurat atau kurikulum 2013 yang disederhanakan sebagai solusi mengatasi Learning Loss, Pencanangan perubahan kurikulum ini tentu bukan sebuah isapan jempol belaka karena sejak tahun ajaran 2021/ 2022 kurikulum yang dibranding dengan nama Kurikulum Merdeka ini sudah mulai diimplemetasikan di hampir 2500 sekolah melalui Program Sekolah Penggerak.
Untuk pemenuhan capaian pembelajaran pemerintah membagi Sekolah Dasar menjadi 3 fase yaitu fase A, B dan C. Pada fase A yaitu kelas 1 dan 2 ditekankan pembelajaran yang sifatnya literasi dan numerasi namun masih bersifat tematik, sedangkan pada fase B dan C sudah benar-benar dipisahkan perpembelajaran dan tidak dipadukan dalam satu tema seperti sebelumnya.
Apakah dengan memberikan penerapan pembelajaran yang berbeda tiap fase benar-benar akan menjawab kebutuhan capaian peserta didik?, tidakkah peserta didik akan merasa kebingungan pada fase B karena di 2 tahun awal mereka fokus pada literasi dan numerasi, lalu jika memang kurikulum baru ini menjadikan tahap perkembangan kognitif anak sebagai patokan, mengapa IPAS (Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial) baru dimunculkan pada fase B?.
Padahal jika dibandingkan dengan pembelajaran numerasi yang lebih abstrak, IPAS dirasa lebih sesuai karena sifanya kontektual berada disekitar anak yang mendukung tahap perkembangan kognitif anak yaitu tahap operasional konkret.
Berdasarkan hasil survei PISA pada 2018 Indonesia berada pada urutan keenam dari bawah dengan kompetensi yang diujikan yaitu, sains, matematika dan literasi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan belajar di Indonesia pada bidang sains atau mata pelajaran IPAS juga masih dianggap sulit dan sama rendahnya dengan literasi dan numerasi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Savitri (2022) mengungkapkan bahwa mata pelajaran IPA masih dianggap sebagai salah satu pelajaran yang sulit dan membingungkan, khususnya dalam memahami materi yang bersifat hafalan teori. Sejatinya pembelajaran IPAS merupakan pembelajaran yang sangat dekat dengan anak karena berkaitan dengan lingkungan sekitar atau bersifat kontekstual namun masih dijadikan salah satu momok paling menakutkan bagi siswa.
Berkaitan dengan kesulitan anak dalam pembelajaran IPAS, pandangan yang sama diungkapkan dalam teori Piaget yang mengatakan bahwa anak dapat membangun pengetahuannya melalui lingkungan sekitar dan tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar bergantung kepada seberapa jauh anak dapat aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya sehingga pengetahuan yang dimiliki anak harus dibangun sedini mungkin agar dapat membentuk pola pikir induktif serta menciptakan situasi dimana anak mampu bernalar melalui pengalaman langsung di lingkungan.
Mata pelajaran IPAS baru akan dimunculkan pada fase B karena anak dianggap memiliki kemampuan bernalar yang lebih tinggi di bandingkan dengan fase A, padahal seharusnya konsep yang ada pada pengetahuan alam dan sosial ini juga sudah ditekankan di awal mengingat kompetensi peserta didik yang masih rendah pada bidang science, konsep IPAS yang membingungkan dan dekat dengan anak.
Konsep pengetahuan alam dan sosial yang baru akan dimunculkan pada fase B dapat menimbulkan kebingungan dalam diri anak, karena sebelumnya anak hanya difokuskan pada literasi dan numerasi yang masih bersifat tematik, namun di fase selanjutnya anak harus mampu menyesuaikan konsep pengetahuan alam dan sosial dengan standar kompetensi tertentu tanpa ada pembiasaan terlebih dahulu sehingga muncul anggapan bahwa IPAS sulit untuk dipahami karena pola berpikir anak yang belum terlatih menemukan konsep sejak awal.
Fakta yang ada dilapangan harus dijadikan salah satu bentuk evaluasi dalam pelaksanaan pembelajaran guna memperbaiki kekurangan yang ada. IPAS seharusnya menjadi salah satu hal yang juga ditekankan pada pembelajaran di fase A karena jika disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif, maka anak harus dibiasakan untuk dapat menemukan pemahamannya sendiri melalui lingkungan sedari awal atau dari kelas 1 sehingga dapat membangun mindset bahwa IPAS itu mudah dipahami karena konsepnya erat dengan kehidupan.
Konsep IPAS harus mulai ditekankan pada fase A untuk dapat mendukung program yang dibuat oleh pemerintah yaitu pembelajaran yang yang dibangun dengan konsep dan berbasis masalah, IPAS hadir sebagai media yang mampu mencarikan solusi terkait permasalahan yang terjadi disekitar anak tentang alam maupun sosial dengan melihat segalanya melalui sisi objektif dan ilmiah.
Pengetahuan yang diperoleh sejak dini akan membentuk kebiasaan anak agar dapat terus membangun konsep dengan mempraktekannya dikehidupan sehari-hari serta menaikan kompetensi peserta didik Indonesia yang tergolong rendah pada bidang sains.
Penulis : Dewinta Aulia Savitri (Mahasiswa PGSD Universitas Sriwijaya)