Pojok Berita – Menurut penilaian (AMPCB), penyerahan Gedung Balai Pertemuan (ex-societeit/KBTR) ke Baznas Kota Palembang sebagai pengelola cagar budaya dengan status pinjam pakai oleh Walikota Harnojoyo adalah kebijakan yang subjektif -selera pribadi-, a-historis, politis, tidak partisipatif, dan sangat tidak etis.
Gedung Balai Pertemuan adalah milik publik yang dikuasasi negara yang berstatus cagar budaya. Tegasnya, Balai Pertemuan bukan milik pribadi atau warisan nenek moyang yang dapat dengan seenaknya diserahkan pada orang yang disenangi apalagi berdasarkan balas jasa atau untuk kepentingan pencitraan politik yang nepotif.
Dalam kebijakan ini, kentara sekali, bahwa Walikota Harnojoyo tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas untuk berpendapat. Partisipasi masyarakat merupakan persyaratan pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karenanya, kebijakan untuk pemanfaatan seharusnya melibatkan banyak pendapat para pemangku kepentingan seperti Tim Ahli Cagar Budaya, arkeolog, antropolog, budayawan, sejarawan, seniman dan unsur lain yang berkompeten.
Pola kebijakan yang sujektif dan tidak partisipatf seperti ini akan menimbulkan konflik dan resistensi dari masyarakat. Aksi-aksi penolakan dari AMPCB dan berbagai pihak saat ini, merupakan akibat dari kebijakan yang tidak tepat Atau dalam bahasa Palembang disebut nganar.
Memang, berdasarkan UU Cagar Pasal 85 UU No. 11/2010 ayat (1) dalam pemanfaatan cagar budaya, bahwa Pemerintah Daerah, dan setiap orang dapat memanfaatkan Cagar Budaya untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan pariwisata.
Meskipun disebutkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, namun terkait dengan kebijakan pemanfatan Balai Pertemuan, Semestinya pemanfaatan Cagar Budaya Balai Pertemuan, menimbang empat hal, pertama dilihat latar belakang historis, kedua dari lokasi atau tempatnya, ketiga dari sisi fungsi awalnya dan misi Palembang sebagai kota kota Pariwisata sungai dan budaya.
Dari sisi historis, sudah jelas Balai Pertemuan adalah satu bangunan di kawasan kompleks societeit yang dibangun kololonial Balanda pada tahun 1928. Sejak awal gedung ini berfungsi sebagai tempat bersosialisasi atau sosialita dan hiburan bagi kaum elit Belanda.
Pada masa kemerdekaan RI hingga masa Walikota Edi Santana, gedung ini diperuntukkan juga sebagai sarana pertemuan, festival dan pertunjukan kesenian, diskusi, seminar dan kegiatan kemasyarakatan lainnya. Bagi masyarakat seni gedung ini banyak menyimpan kenangan dan bahkan menjadi salah satu saksi bisu bagi perkembangan sejarah kebudayaan.
Sedangkan dari sisi lokasi, Balai Pertemuan berada di kawasan cagar budaya dan wisata Benteng Kuto Besak dan kawasan perkantoran Pemkot sendiri. Tentu sangat cocok jika Balai Pertemuan dijadikan tempat pertunjukan kesenian. Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam RTRW Kota Palembang Tahun 2012-2032, bahwa kawasan tepian Sungai Musi diarahkan untuk pengembangan pariwisata budaya sejarah dan pengembangan water front city.
Apabila ada para wisatawan yang melancong ke kawasan BKB atau akan melakukan Musi tour dapat diajak dulu ke Balai Pertemuan untuk menyaksikan paket pertunjukan seni tradisional yang telah disiapkan. Tapi jika gedung ini digunakan untuk Baznas dan kegiatan administrasi keagamaan tentu sangat tidak cocok. Masak para wisatawan diajak melihat transaski zakat?
Mengutip artikel Dhea Wardani Fitri, Mahasiswa Magang Jurusan Pariwisata Syariah, IAIN Batusangkar di BPCB Sumbar, yang berjudul pemanfaatan cagar budaya untuk pariwisata pada situs http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsumbar bahwa pelestarian cagar budaya oleh Pemda selain mementingkan nilai ekonominya juga harus memperhatikan nilai pelestariannya, karena keduanya bisa berjalan secara beriringan.
Nilai intrinsik Cagar Budaya selain mengandung potensi dan nilai akademik maupun edukatif, juga mengandung potensi serta nilai estetika dan eksotika yang dapat dikembangkan untuk mendukung Cagar Budaya sebagai objek wisata. Kandungan inilah yang dapat dijadikan sebagai “ruh” dalam pemanfaatan Cagar Budaya berkaitan dengan kepariwisataan.
Pemanfaatan Cagar Budaya sebagai objek wisata sebenarnya memiliki hubungan yang resiprokal. Artinya, “eskploitasi” Cagar Budaya dan situs seharusnya dapat mendukung aspek pelestarian objek, antara lain dengan menumbuhkan apresiasi pengunjung atas warisan leluhur beserta makna kultural yang dikandungnya.
Sebenarnya, Balai Pertemuan telah diusulkan oleh Dinas Kebudayaan Kota Palembang sebagai Taman Budaya. Sementara itu, Dewan Kesenian Palembang telah pula mengusulkan menjadi Gedung Kesenian. Apapun namanya, bagi para seniman, budayawan dan masyarakat seni, Balai Pertemuan dapat dimanfaatkan bagi sarana dan prasarana kesenian yang telah lama dididam-idamkan. Dan memang sarana kesenian semacam ini belum ada di kota tua yang terbesar kedua di Sumatera ini.
Usulan ini sangat sesuai dengan fungsi awal balai pertemuan ketika dibangun, yaitu sebagai sarana sosialita dan kesenian. Meskipun Undang-undang No. 11 Tahun 2010 tidak secara khusus mengatur pemanfaatan bangunan cagar budaya diarahkan kemana tetapi akan lebih baik dimanfaatkan sebagaimana fungsi awalnya.
Secara kepariwisataan, Walikota Harnojoyo telah menatapkan visi-misinya dengan Palembang EMAS Darussalam 2023. Satu misi kepariwisataannya yang perlu diingat adalah mewujudkan Palembang sebagai kota Pariwisata berbasis sungai dan budaya. Namun hingga hari ini, agaknya misi tersebut masih jauh dari tujuan. Hal ini disebabkan karena ketidakkonsitenan Pemkot dalam menjadikan sungai dan budaya sebagai basis dalam megembangkan kepariwisataan.
Kawasan BKB yang berada di tepian sungai Musi tidak secara serius digarap. Beberapa program penambahan destinasi wisata seperti Pedestraian Sudirman, Lorong Basah Culinary, De Burry Cafe, Sekanak Lambidaro dan rencana menjadikan Pulo Kemaro sebagai destinasi wisata seperti “ancol” pun gagal total.
Kawasan BKB memiliki sumber daya arkeologi, sejarah dan budaya yang sangat strategis untuk mendukung kota tua. Balai Pertemuan yang berada di dalamnya merupakan bagian penting yang dapat memercantik kota tertua dan telah mendapat predikat Pusaka ini.
Sebagai ketua presidium Jaringan Kota Pusaka Indonesia sepertinya pemikiran Walikota Harnojoyo tidak terkonsentrasi ke misi yang telah dia buat sendiri. Sementara itu, ironisnya ada destinasi wisata lain diluar taunggungjawab dia sebagai Walikota (yang dipilih, ditetapkan, dilantik, disumpah dan digaji di Palembang), namun terus menerus dipromosikan di media massa sebagai prestasinya.
Pemugaran Balai Pertemuan
Selanjutnya, saya ingin menanggapi video wawancara Ketua Baznas Kota Palembang, Kgs Ridwan Nawawi S.Pd.I. di Gandus TV ((25/2), yang menyatakan telah mendapat Surat Keputusan dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kota Palembang untuk pinjam pakai sejak akhir Januari 2023 lalu dan sekarang sudah melakukan kegiatan kebersihan dan penjagaan. Menurut dia, S.K. Pinjam Pakai tersebut untuk Islamic Centre yang di dalamnya ada kantor Baznas, kantor MUI dan ustad dari Pemkot.
Namun demikian, tindakan yang dilakukan pihak Baznas ini tidak tepat. Sebab gedung cagar budaya Balai Pertemuan ini masih dalam kondisi rusak berat. Seyogyanya Pemkot Palembang bertanggungjawab atas pembiaran yang mereka lakukan. Pemkot (BPKAD) telah dimandatkan oleh Undang-undang untuk memelihara, melindungi, menyelamatkan, mengamankan dan memugar Balai Pertemuan. Beban Pemkot tidak bisa diserahkan ke Baznas. Sebab menurut dugaan kami, perusakan Balai Pertemuan telah terjadi sebelum bulan Januari 2023. Artinya sebelum adanya surat keputusan pinjam pakai yang dimaksud.
Memang seharusnya, Balai Pertemuan yang sudah dirusak harus dipugar terlebih dahulu. Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya (AMPCB) telah mengirimkan surat ke Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Sumsel agar segera meninjau keadaan Balai Pertemuan, mengiventarisir seluruh kerusakan, membuat kajian dan memberikan rekoemndasi kepada Pemkot Palembang untuk melakukan penetapan (sertifikasi) Balai Pertemuan sebagai cagar budaya dan melakukan pemugaran.
Pemugaran cagar budaya tentu tidak sama dengan pemugaran bangunan biasa. Pemugaran harus mengacu pada kaidah norma yang diatur dalan UU Nomor 11/2010 dan Perda Kota Palembang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cagar Budaya.
Satu hal lagi yang harus diingat, pembersihan yang dilakukan oleh pihak Baznas dilakukan setelah aksi AMPCB. Berarti, pihak Baznas bereaksi dan merespon setelah ada aksi “Bakti Sosial dan Pertunjukan Seni” di Balai Pertemuan oleh pihak AMPCB pada 12 Februari 2022. AMPCB memang mendorong pemanfaatan Balai Pertemuan untuk sarana prasarana kesenian. Sepertinya, reaksi Baznas disebabkan oleh rasa ketakutan jika Balai Pertemuan dialihkan pengelolanya.
Saya tidak paham, apakah Baznas kegiatan bersih-bersih dan penjagaan balai pertemuan dikarenakan atas inisiatif sendiri, atau diperintahkan oleh Pemkot Palembang. Jika karena alasan diperintahkan Pemkot, maka patut diduga dan diwaspadai telah terjadi upaya peta konflik atau adu domba antar masyarakat sipil, yakni pihak AMPCB dan pihak Baznas. Hal ini sangat berbahaya dan keji. Bukankah karakter semacam ini mengingatkan kita pada karakter kolonial Belanda yang hobi melakukan politik devide et impera.
Sejauh ini, AMPCB telah mengadukan peristiwa pembiaran dan perusakan Balai Pertemuan kepada Pihak Kapolresta Palembang, TACB Sumsel, dan akan menyusul dalam minggu ini bersurat ke Presiden RI, Dirjen Kebudayaan, Direktorat Cagar Budaya, TACB Nasional dan pihak yang terkat lainnya.
AMPCB berharap pihak kepolisian dapat mengusut tuntas kasus perusakan, pencurian dan penadahan. Semoga Balai Pertemuan masih tidak menyusul seperti Pasar Cinde yang malang, dilahirkan untuk menyelamatkan ibunya, namun dibunuh kemudian oleh pihak Pemprov Sumsel.
Akhir kata, sebaiknya pihak Baznas lebih berhati-hati jika mau langsung mengambil alih tanggung jawab Pemkot Palembang dalam memugar, salah-salah bisa menjadi bumerang, tercebur dalam kekeliruan yang tida bersesuaian dengan kaidah pemugaran sebagamana mandat peraturan peundang-undangan.
Penulis : Vebri Al Lintani , Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya (AMPCB)